RELASI DAN RELEVANSI BELAJAR PARADIGMA DALAM FILSAFAT HUKUM

Relasi dan Relevansi Belajar Paradigma dalam Filsafat Hukum
Oleh : Arief Rachman Hakim.
NIM : B2A00320
Pengantar
Sebelum membahas lebih jauh mengenai Relasi dan Relevansi Belajar Paradigma dalam Filsafat Hukum saya mengajak untuk membahas mengenai Filsafat dan Hukum.
Bila kita kaji kepustakaan mengenai filsafat hukum, akan kita temukan mberbagai definisi,perumusan, ataupun uraian yang diutarakan pleh para penulismya.

A. Hukum dan Filsafat Hukum
Kebutuhan manusia pada dasarnya senantiasa berubah seiring dengan perubahan situasi dan kondisi kehidupan. Dipicu oleh hasrat keingin-tahuan untuk memahami realitas kehidupan di sekelilingnya serta semangat juang untuk memenuhi kebutuhannya yang terus berubah itu, manusia mau tidak mau harus mengembangkan ilmu pengetahuan. Di dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan guna mengantisipasi proses perubahan ini, dari waktu ke waktu manusia perlu menemukan landasan berpikir baru di dalam kerangka khasanah disiplin ilmiah yang ada. Dalam kaitan ini, salah satu landasan berpikir baru yang belum banyak digagas adalah di bidang filsafat, utamanya filsafat hukum.
Filsafat yang bisa dianggap terjemahan dari kata ‘philosophie’ dapat dimaknai sebagai, a.l. :
o cinta kepada ilmu,
o suka kepada kebijaksanaan atau teman kebijaksanaan,
o cinta akan kebijaksanaan, yakni kebijaksanaan hidup.
Pada tataran teknis, Filsafat lebih diartikan sebagai :
o cinta akan kebijaksanaan hidup yang berkaitan dengan pikiran-pikiran rasional.
Filsafat juga dapat dipahami sebagai :
• usaha untuk memperoleh [ilmu] pengetahuan, semata-mata untuk kepentingan [ilmu] pengetahuan itu sendiri.
Filsafat juga senantiasa mengandung makna :
• ‘penyelidikan’ di dalamnya; yakni ‘penyelidikan’ dalam rangka mencari tahu tentang sifat asli dari dunia, sifat yang sedalam-dalamnya dari dunia, serta sifat yang sebenarnya dari hidup itu sendiri.
Apa yang dipikirkan Filsafat adalah hidup sebagai keseluruhan pengalaman dan pengertian. Karenanya, metoda yang khas bagi suatu pemikiran Filsafat ialah refleksi atas pengalaman-pengalaman dan pengertian-pengertian tentang sesuatu hal dalam cakrawala yang universal. Oleh sebab sifatnya yang universal ini, obyek Filsafat mencakup segala hal yang yang dialami manusia. Dalam hal ini, memikirkan sesuatu hal secara filsafati ialah mencari arti yang sebenarnya dari hal dimaksud dengan memandangnya dari cakrawala yang paling luas. Ini artinya, secara sederhana sebenarnya bisa dikatakan bahwa ‘berfilsafat adalah berpikir’.

B. Memahami Filsafat Hukum.
Dalam hal ini menurut para ahli arti dalam memahami filsafat hukum :
• Menurut Radbruch, Filsafat Hukum adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar.
• Kelsen juga berpendapat bahwa Filsafat Hukum merupakan ilmu yang mencari pengetahuan tentang hukum yang benar serta hukum yang adil.
• Stammler menyatakan pula bahwa filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang hukum yang adil
• Sedangkan bagi Langmeyer, Filsafat Hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum.
• Anthoni D’Amato mengistilahkan Filsafat Hukum sebagai Jurisprudence, yang acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar tentang pengertian hukum secara abstrak.
• Bruce D. Fischer juga mendefinisikan Jurisprudence sebagai suatu studi tentang filsafat hukum
[kata jurisprudence berasal dari bahasa Latin, yang berarti kebijaksanaan (prudence) yang berkenaan dengan hukum (juris)].
Kiranya dapat dipahami jika Filsafat Hukum relevan untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu. Filsafat Hukum memberikan uraian yang rasional mengenai hukum sebagai upaya untuk memenuhi perkembangan hukum secara universal untuk menjamin kelangsungan di masa depan.
Duguit bahkan meyakini bahwa Filsafat Hukum memegang peranan penting dalam kegiatan penalaran dan penelaahan asas dan dasar etik dari pengawasan sosial, yang berkaitan dengan :
o tujuan-tujuan masyarakat,
o masalah-masalah hak asasi,
o kodrat alam.
Demikianlah, Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang cerdas, sebagai “subjek hukum”. Filsafat Hukum tak lepas dari manusia selaku subjek hukum maupun subjek filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya manusia yang mampu berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu itu adil, benar, dan sah.

C. Paradigma dan Filsafat Hukum.
Sebagaimana dimaklumi, Filsafat Hukum pada dasarnya berintikan pembahasan tentang berbagai aliran Filsafat Hukum. Sementara itu, salah satu upaya pengembangan landasan berpikir baru di dalam lingkup Filsafat, termasuk Filsafat Hukum, adalah diadopsinya gagasan tentang ‘paradigma’, yang diperkenalkan pertama-kali ke pada ‘sain’ (science) oleh teoritisi fisika Thomas S. Kuhn di awal dekade 60-an. Dalam konteks ini, ‘paradigma’ dapat dipahami sebagai sebuah disciplinary matrix, yakni suatu pangkal atau sumber sekaligus wadah, dari mana suatu disiplin ilmu pengetahuan dianggap bermula dan diharapkan akan terus mengalir. Kata ‘paradigma’ atau paradigm itu sendiriditurunkan dari kata campuran, gabungan, atau amalgamasi dalam bahasa Yunani paradeigma. Dalam hal ini para berarti ‘di sebelah’, ‘di samping’, ‘di sisi’, ‘berdampingan’, atau ‘di tepi’, sedangkan deiknunai atau deigma bermakna ‘melihat’ atau ‘menunjukkan’.
Di dalam komunitas ilmiah, ‘paradigma’ antara lain dipandang sebagai keseluruhan konsep yang diterima oleh sebagian besar anggota suatu komunitas intelektual sebagai sebuah ‘sain’ (science), dikarenakan ke-efektif-annya di dalam menjelaskan suatu proses, ide, atau sekumpulan data yang kompleks. Lebih daripada sekedar kumpulan teori, paradigma mencakup berbagai komponen praktek praktek ilmiah di dalam sejumlah bidang kajian yang ter-spesialiasi. Paradigma juga akan, di antaranya, menggariskan tolok ukur, mendefinisikan standar ketepatan yang dibutuhkan, menetapkkan metodologi penelitian mana yang akan dipilih untuk diterapkan, atau cara bagaimana hasil penelitian akan di interpretasi. Ini berarti, makna paradigma meliputi keseluruhan koleksi, kombinasi, gabungan, atau campuran dari komitmen yang dianut dan diterapkan oleh anggota-anggota suatu komunitas ilmu pengetahuan secara bersama-sama, yang, untuk waktu tertentu, menawarkan model permasalahan berikut pemecahan-nya kepada komunitas dimaksud. Secara tipikal paradigma mendefinisikan bagi penganut atau pemakainya, baik disadari maupun tidak, apa yang dapat dianggap/diterima sebagai bidang, disiplin, atau cabang ilmu pengetahuan vang digeluti sekaligus bagaimana cara mereka mewujudkan karya dan karsa mereka di dalam-nya. Pada tataran inilah berbagai konsep paradigma yang lebih formal disadari, direnungkan dan diperdebatkan . Dalam kaitan ini, ilmu hukum, ilmu sosial, atau bidang ilmu lainnya, sebenarnya bisa dikatakan mengakui adanya lebih dari satu paradigma atau ‘multi¬paradigmatik’. Dalam hal ini, multi-paradigmatik dimaknai sebagai ‘me-refleksi-kan interpretasi berbagai pokok persoalan dari bidang bidang ilmu dimaksud secara majemuk, bervariasi, bahkan tidak jarang berseberangan’. Paradigma dengan demikian merupakan sebuah konsep ―seringkali diasumsikan atau dianut begitu saja tanpa disadari― yang memungkinkan seseorang atau sekelompok masyarakat [katakanlah masyarakat ilmiah, begitu] untuk melihat dan memahami dunia dengan segala isinya. Dengan demikian, paradigma sesungguhnya adalah bukan pikiran (thought) yang kita miliki, melainkan kerangka [berpikir] (framework) di mana pikiran kita dibentuk dan dibangun. Demikianlah, aliran Filsafat [Hukum] pada galibnya tidak sama dengan paradigma. Setiap aliran Fisafat [Hukum] sebenarnya merupakan bagian ―dan bisa dikatakan pengejawantahan atau terlahir atau berakar― dari suatu paradigma tertentu. Paradigma dalam kaitan ini diyakini dapat memberikan manfaat berupa pemahaman tentang nuansa atau gradasi perbedaan di antara berbagai aliran Filsafat Hukum, yang dipilah ke dalam pola yang ada sesuai dengan paradigma masing-masing.

D. Filsafat Hukum Lebih Jauh Tentang Paradigma.
Berbagai pandangan dengan kajian kepustakaan mengenai Paradigma, akan kita temukan berbagai definisi,perumusan, ataupun uraian yang diutarakan oleh para penulismya.
KUHN (1962), TENTANG PARADIGMA :
Pengertian sederhana :
– model, percontohan, representatif, tipikal, karakteristik atau ilustrasi dari solusi permasalahan
atau pencapaian dalam suatu bidang ilmu pengetahuan.
Pengertian Lanjutan :
• tidak hanya terbentuk oleh teori-teori semata.
• merupakan suatu masterpiece yang mencakup semua unsur praktek-praktek ilmiah di dalam sejumlah area of inquiry atau bidang studi/penelitian yang terspesialisasi.
• menggariskan parameter-parameter penting mana yang akan diukur, mendefinisikan standar ketepatan yang dibutuhkan, menunjukkan cara bagaimana (hasil) observasi akan diinterpretasi, serta metoda eksperimen mana yang akan dipilih untuk diterapkan.
• Keseluruhan koleksi, kelompok, kombinasi, gabungan, paduan, campuran dari komitmen yang diterima, diakui, diyakini, dianut, dipegang, dipakai atau diterapkan bersama oleh anggota-anggota komunitas ilmu pengetahuan tertentu
• Pencapaian ilmu pengetahuan yang diakui secara universal yang untuk waktu tertentu memberikan model permasalahan berikut pemecahan permasalahan tersebut kepada suatu komunitas praktisi (dari suatu bidang, disiplin atau cabang ilmu pengetahuan)
• Pengertian (deskriptif) yang lebih luas dari paradigma tersebut disebut sebagai disciplinary matrix, yakni suatu pangkal, wadah, tempat cetakan, sumber atau kandungan di/dari mana suatu disiplin ilmu pengetahuan dianggap bermula, berasal, berakar, dicetak, bersumber/mengalir, terlahir atau dijadikan
TENTANG TEORI
NEUMAN (1991) :
 Suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan meng-organisasi pengetahuan tentang ‘dunia’; dan cara yang ‘ringkas’ untuk berpikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja

SARANTAKOS (1993) :
 Suatu set/koleksi/kumpulan/gabungan ‘proposisi’ yang secara logis terkait satu sama lain dan diuji serta disajikan secara sistematis
 Dibangun dan dikembangkan melalui research dan dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu ‘phenomena’
 Pernyataan yang terkonstruksi secara logis yang meringkas dan mengorganisasi pengetahuan di dalam area (atau bidang/disiplin/cabang ilmu pengetahuan atau ‘studi’) tertentu.
 (di segala waktu dan tempat) juga terbuka untuk di-’test’, di- ‘reformulasi’, di-’modifikasi’, dan di- ‘revisi’.
Gregory (1986) :
 paradigma adalah berbagai working asumptions, prosedur, dan temuan yang secara rutin diterima atau diakui oleh sekelompok scholar, yang keseluruhannya mendefinisikan suatu pola aktivitas ilmah/ilmu pengetahuan yang stabil; pola ini pada gilirannya akan mendefinisikan komunitas [scholar tadi] yang berbagi [atau menganut/memegang/memakai] paradigma [yang sama] tersebut.
Patton (1990) :
 paradigma adalah suatu set ‘proposisi’ yang menjabarkan bagaimana dunia ini dilihat/dipahami/diterima,
 paradigma mengandung suatu worldview, yakni suatu cara melalui mana kompleksitas dunia ini dipecah/dipilah agar mudah dimengerti,
 secara umum paradigma menggariskan bagi researcher ‘apa yang penting’, ‘apa yang legitimate’, dan ‘apa yang reasonable’.
Neuman (1991) :
 paradigma serupa dengan ‘pendekatan’ atau approach maupun ‘tradisi’,
 Paradigma adalah suatu orientasi dasar terhadap teori dan research,
 paradigma merupakan keseluruhan sistem berpikir atau system of thinking yang meliputi :
• asumsi dasar,
• [research] question yang harus dijawab atau teka-teki [ilmiah] yang hendak dipecahkan,
• berbagai teknik atau metoda penelitian yang akan diterapkan, serta
• beraneka contoh bagaimana sebenarnya penelitian ilmiah yang baik itu.

Tentang Tradisi
Laudan (1977) :
 statik dan terstruktur
 tradisi adalah suatu set asumsi umum tentang berbagai entity dan proses di dalam domain studi tertentu, serta tentang metoda yang tepat dan sesuai guna meng-investigasi permasalahan dan meng-konstruksi teori di dalam domain tersebut,
 berbagai tradisi dari beragam domain studi membentuk disciplinary matrix seperti dijabarkan oleh Kuhn (1962), disciplinary matrix ini sebenarnya adalah paradigma,
 tradisi merupakan bagian dari paradigma,
 ilmu pengetahuan beroperasi dengan paradigma dan dikemudikan oleh tradisi.
Kembali Tentang Paradigma
Sarantakos (1993) :
 paradigma dapat dipadankan atau disetarakan dengan ‘perspektif’ (perpectiv).
Denzin dan Lincoln (1994) :
 tidak sependapat,
 perspektif pada dasarnya ber-derajat di bawah paradigma, karena ia adalah suatu sistem belief yang kurang atau belum terlalu berkembang sebagaimana halnya dengan paradigma,
 tidak akan terlalu bermasalah bila komponen-komponen penyusun suatu perspektif saling dipertukarkan dengan komponen-komponen perspektif lainnya.
Guba dan Lincoln (1994) :
 paradigma terbangun atau tersusun dari jaringan premise [yakni pernyataan dari mana sebuah kesimpulan dapat diambil secara logis] ontologis, epistemologis, dan metodologis,
 paradigma terdiri dari koleksi/kumpulan/gabungan belief ‘dasar’ yang memandu langkah/tindakan/perbuatan (action) para penganut/pemegang/pemakai paradigma dimaksud,
 paradigma adalah suatu koleksi/kumpulan/gabungan (set /system) belief ‘dasar’ yang berkenaan/berurusan dengan prinsip-prinsip utama dan/atau pertama,
 paradigma me-representasi-kan suatu world view yang men-definisi-kan ─bagi penganut/pemegang/pemakai-nya─ sifat [dan ciri] ‘dunia’ ─yakni tempat/posisi para individu maupun kelompok individu di dalamnya─, serta rentang hubungan/keterkaitan yang mungkin antara individu maupun kelompok individu tersebut dengan ‘dunia’ berikut bagian-bagiannya.

E. Relasi dan Relevansi Belajar Paradigma Dalam Filsafat Hukum.
Paradigma dan Filsafat hukum memiliki relasi dan relevansi yang strategis karena Sebagaimana dimaklumi, Filsafat Hukum pada dasarnya berintikan pembahasan tentang berbagai aliran Filsafat Hukum. Sementara itu, salah satu upaya pengembangan landasan berpikir baru di dalam lingkup Filsafat, termasuk Filsafat Hukum, adalah diadopsinya gagasan tentang ‘paradigma’, yang diperkenalkan pertama-kali ke pada ‘sain’ (science) oleh teoritisi fisika Thomas S. Kuhn di awal dekade 60-an. Dalam konteks ini, ‘paradigma’ dapat dipahami sebagai sebuah disciplinary matrix, yakni suatu pangkal atau sumber sekaligus wadah, dari mana suatu disiplin ilmu pengetahuan dianggap bermula dan diharapkan akan terus mengalir.
Paradigma dengan demikian merupakan sebuah konsep seringkali diasumsikan atau dianut begitu saja tanpa disadari yang memungkinkan seseorang atau sekelompok masyarakat [katakanlah masyarakat ilmiah, begitu] untuk melihat dan memahami dunia dengan segala isinya. Dengan demikian, paradigma sesungguhnya adalah bukan pikiran (thought) yang kita miliki, melainkan kerangka [berpikir] (framework) di mana pikiran kita dibentuk dan dibangun. Demikianlah, aliran Filsafat [Hukum] pada galibnya tidak sama dengan paradigma. Setiap aliran Fisafat [Hukum] sebenarnya merupakan bagian ―dan bisa dikatakan pengejawantahan atau terlahir atau berakar― dari suatu paradigma tertentu. Paradigma dalam kaitan ini diyakini dapat memberikan manfaat berupa pemahaman tentang nuansa atau gradasi perbedaan di antara berbagai aliran Filsafat Hukum, yang dipilah ke dalam pola yang ada sesuai dengan paradigma masing-masing.
Demikian penulis paparkan dalam relasi dan relevansi belajar paradigma dalam filsafat hukum yang penulis ambil dan penulis ringkas dari bahan mata kuliah pertemuan awal sampai pertemuan terakhir.

MOGOK KERJA oleh Hendrawan Agusta, S.H.[1]

 

 

Pengaturan mengenai mogok kerja diatur dalam Pasal 137 s/d 145 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut “UU Ketenagakerjaan”) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.KEP.232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Tidak Sah (selanjutnya disebut “Kepmen No. 232”). Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/serikat pekerja, namun begitu untuk melakukan mogok kerja ada persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu :

 

a.    Syarat formil :

  • Pemberitahuan ditujukan kepada Perusahaan dan Disnaker dengan substansinya yang meliputi : jadwal, jangka waktu, tempat, latar belakang (alasan) melakukan mogok kerja dan ditandatangani oleh serikat pekerja/perwakilan/perwakilan pekerja yang akan melakukan mogok kerja/yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan mogok kerja.
  • Surat pemberitahuan tersebut dikirimkan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilakukan.

 

b.    Syarat materiil :

Permasalahan yang menjadi dasar dilakukannya mogok kerja, yaitu tuntutan hak normatif.Berdasarkan syarat formil dan syarat materiil di atas, saya uraikan hal-hal apa saja yang menjadikan mogok kerja menjadi tidak sah berdasarkan UU Ketenagakerjaan dan Kepmen No. 232, sebagai berikut :

 

 1.         Jadwal :

Dalam surat pemberitahuan mogok kerja, harus dicantumkan secara jelas hari, tanggal dan jam dimulai dan diakhirinya mogok kerja.  Perlu diperhatikan dalam hal tanggal dilakukannya mogok kerja akan habis, maka wajib bagi pekerja/serikat pekerja untuk mengajukan surat pemberitahuan lanjutan mogok kerja dengan tenggang waktu yang patut, yaitu selambat-lambatnya 3 hari kerja sebelum tanggal mogok kerja habis.

Yang menjadikan mogok kerja tidak sah apabila : dalam surat pemberitahuan mogok kerja tidak dicantumkan jadwal mogok kerja.

 

 2.         Tempat :

Maksud dicantumkannya tempat mogok adalah meskipun mogok kerja merupakan hak dasar pekerja, tetapi tidak boleh dilakukan secara brutal sehingga harus dikoordinir dan diketahui di mana tempat dan waktunya. Filosofi mogok kerja harus dilaksanakan di tempat tertentu yakni sejarahnya dahulu mogok kerja itu dianggap sebagai wanprestasi, di mana sebenarnya pekerja bukannya tidak mau bekerja tetapi mereka ingin menyampaikan suatu tuntutan dan tentunya untuk menyampaikan tuntutan itu harus bertemu dahulu sehingga harus diketahui juga di mana mogok dilakukan. Berdasarkan filosofi tersebut, maka tempat yang ideal untuk menyampaikan mogok kerja adalah di tempat di mana pekerja bekerja (di tempat Perusahaan).

Yang menjadikan mogok kerja tidak sah apabila : mogok kerja yang tidak dilakukan di tempat sebagaimana surat pemberitahuan.

 

3.         Alasan :

Alasan mogok kerja harus didasari akibat gagalnya perundingan (deadlock), yaitu tidak tercapainya kesepakatan antara pekerja/serikat pekerja dengan Perusahaan karena Perusahaan tidak mau melakukan perundingan meskipun pekerja/serikat pekerja telah meminta secara tertulis sebanyak 2 kali dalam tenggang waktu 14 hari kerja. Perlu diperhatikan bahwa alasan mogok kerja dalam surat pemberitahuan mogok kerja harus sudah pernah diperundingkan terlebih dahulu, tidak boleh mencantumkan alasan yang belum pernah diperundingkan.

Deadlock itu harus disepakati antara pihak perusahaan dan pekerja/serikat pekerja, deadlock tidak bisa diputuskan secara sepihak. Untuk itulah penting sekali mengacu hal yang sudah deadlock atau belum dengan melihat risalah bipartit. Penting juga diwaspadai dalam hal ada alasan yang sudah dinyatakan deadlock dalam suatu risalah (misal risalah tersebut tertgl. 20 Januari 2012) namun kemudian alasan yang sudah deadlock ternyata oleh para pihak diperundingkan lagi pada tgl. 5 Februari 2012, maka hal ini tidak bisa dikatakan deadlock. Terkait gagalnya perundingan sebagai alasan untuk mogok kerja hanya sebatas di tingkat perundingan bipartit saja dan tidak perlu sampai mediasi di Disnaker.

Yang menjadikan mogok kerja tidak sah apabila : salah satu alasan mogok kerja tidak pernah dirundingkan terlebih dahulu dan tidak terjadi deadlock, maka mogok kerja tidak sah. Manakala dalam suatu perundingan salah satu pihak yakni pengusaha menyatakan bahwa belum tercapai titik temu tapi masih akan dibicarakan lebih lanjut lagi, dalam hal ini tidak dapat dikatakan deadlock karena masih ada kemungkinan untuk diadakan perundingan. Jadi deadlockitu berarti jika sudah tidak ada perundingan sama sekali.

 

Contoh : 

Dalam surat pemberitahuan mogok kerja terdapat 3 alasan yang dicantumkan sebagai dasar untuk melakukan mogok kerja, yaitu Kampanye anti serikat/ UNION BUSTING, tuntutan kenaikan uang dinas luar kota sebesar Rp. 15.000,- per hari dan tuntutan kenaikan uang makan sebesar Rp. 10.000-. Namun ternyata dari ketiga alasan tersebut yang pernah dirundingkan dalam tingkat bipartit hanya 2, yaitu tuntutan kenaikan uang dinas luar kota dan tuntutan kenaikan uang makan. Oleh karena ada 1 alasan mogok kerja yang tidak pernah diperundingkan (sehingga belum terjadi deadlock), maka mogok kerja tidak sah.

 

 4.         Tenggang waktu

Surat pemberitahuan mogok kerja harus disampaikan secara tertulis kepada pengusaha dan Disnaker sekurang-kurangnya 7 hari kerja sebelum mogok kerja dilakukan.

Yang menjadikan mogok kerja tidak sah apabila : pemberitahuan mogok kerja disampaikan kurang dari 7 hari kerja. Selain itu, pekerja/serikat pekerja tidak boleh menyiapkan jauh-jauh hari sebelumnya untuk melaksanakan mogok kerja sebelum dimulai perundingan karena jika demikian berarti pekerja/serikat pekerja sudah menyiasati bahwa tidak peduli ada atau tidak perundingan tetap akan melakukan mogok kerja. Pada dasarnya dilakukan mogok kerja itu bukan kesana arahnya, melainkan terlebih harus ada sesuatu yg deadlock, sehingga jika sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelum ada perundingan maka dapat dikatakan esensi mogok kerja terlanggar.

 

 

  1. 5.         Hak normatif 

Yang dimaksud dengan hak normatif adalah hak-hak pekerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja Bersama (selanjutnya disebut “PKB”) ataupun Peraturan Perusahaan (selanjutnya disebut “PP”), sebagai contoh adalah cuti kerja dan jam kerja. Jika tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan, PKB maupun PP, maka bukan merupakan hak normatif.

Yang menjadikan mogok kerja tidak sah apabila : mogok kerja dilakukan untuk menuntut hak yang tidak normatif.

 

 

 


[1] Lawyer pada kantor SS.co Advocates, penggiat MCC dengan pengalaman di MCC ALSA UGM, MCC MUTIARA DJOKOESTONO UI dan MCC PRINGGODIGDO UNAIR, murid abadi pada UNIVERSITAS KEHIDUPAN dengan penjurusan LOVE WELL AND LIVE FULLY, pengagum konsep SEMESTA MENDUKUNG.

PT. NEWMONT MINAHASA RAYA PENCEMAR TELUK BUYAT

PT. NEWMONT MINAHASA RAYA

PENCEMAR TELUK BUYAT

PT. Newmont Minahasa Raya merupakan perusahaan pertambangan yang berkerja sama dengan Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka Penanaman Modal Asing. Markas Induk PT. NMR, selanjutnya dikenal dengan Newmont Gold Company (NGC) berada di Denver, Colorado, Amerika Serikat. NGC menempati posisi lima produsen emas dunia. Selain PT. NMR, di Indonesia perusahaan ini juga berkegiatan di Sumbawa, Nusa Tengara Barat dengan nama PT. Newmont Nusa Tenggara. Proyek Newmont antara lain tersebar di Kazakhtan, Kyryzstan, Uzbekistan, Peru, Brasilia, Myanmar dan Nevada.

PT. NMR menandatangani kontrak karya dengan Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 6 November 1986 melalui surat persetujuan Presiden RI No. B-3/Pres/11/1986. Jenis bahan galian yang diijinkan untuk di olah adalah emas dan mineral lain kecuali migas, batubara, uranium, dan nikel dengan luas wilayah 527.448 hektar untuk masa pengolahan selama 30 tahun terhitung mulai 2 Desember 1986. Tahap produksi diawali pada Juli 1995 dan pengolahan bijih dimulai Maret 1996. Dalam tahap eksplorasi, PT. NMR menemukan deposit emas pada tahun 1988. Kemudian kegitan penambangan akan direncanakan dengan luas 26.805,30 hektar yang akan dilakukan di Messel, Ratatotok kecamatan Ratatotok kabupaten Minahasa yang berjarak 65 mil barat daya Manado atau 1.500 mil timur laut Jakarta.

Pencemaran dan Dampak akibat kegiatan penambangan PT. NMR terjadi mulai tahun 1996–1997 dengan 2000-5000 kubik ton limbah setiap hari di buang oleh PT. NMR ke perairan di teluk Buyat yang di mulai sejak Maret 1996. Menurut PT. NMR, buangan limbah tersebut, terbungkus lapisan termoklin pada kedalaman 82 meter. Nelayan setempat sangat memprotes buangan limbah tersebut. Apalagi diakhir Juli 1996, nelayan mendapati puluhan bangkai ikan mati mengapung dan terdampar di pantai. Kematian misterius ikan-ikan ini berlangsung sampai Oktober 1996. Kasus ini terulang pada bulan juli 1997. Kematian ikan-ikan yang mati misterius ini, oleh beberapa nelayan dan aktivis LSM di bawa ke laboratorium Universitas Sam Ratulangi Manado dan Laboratorium Balai Kesehatan Manado, tetapi kedua laboratorium tersebut menolak untuk meneliti penyebab kematian ikan-ikan tersebut. Hal yang sama PT. NMR berjanji untuk membawa contoh ikan mati tersebut ke Bogor dan Australia untuk diteliti tetapi dalam kenyataannya penyebab kematian dan terapungnya ratusan ikan tersebut belum pernah di sampaikan pada masyarakat. Padahal PT. NMR sendiri, mulai melakukan analisis dalam daging dan hati beberapa jenis ikan di Teluk Buyat sejak 1 November 1995. Ini rutin tercatat setiap bulannya.

Kemudian pada tanggal 19 juni 2004, Yayasan Suara Nurani (YSN) dengan dr. Jane Pangemanan, Msi bersama-sama dengan 8 mahasiswa Pasca Sarjana Kedokteran jurusan Kesehatan Masyarakat melalui Program Perempuan, melaksanakan kegiatan program pengobatan gratis untuk warga korban tambang khususnya di Buyat pante (Lakban) Ratatotok Timur Kab. Minahasa Selatan, dan dari hasil pemeriksaan tersebut menyatakan bahwa 93 orang yang diteliti menunjukkan keluhan atau penyakit yang diderita seperti sakit kepala, batuk, beringus, demam, gangguan daya ingat, sakit perut, sakit maag, sesak napas, gatal-gatal dan lain-lain. Diagnosa yang disimpulkan oleh dr Jane Pangemanan, adalah warga Buyat Pantai menderita keracunan logam berat. Keracunan yang di derita warga desa Buyat Pantai ini, ternyata sudah dibuktikan oleh penelitian seorang Dosen Fakultas Perikanan Ir. Markus Lasut MSc, dimana pada bulan Februari 2004, dari hasil penelitian terhadap 25 orang (dengan mengambil rambut warga) terbukti bahwa, 25 orang tersebut sudah ada kontaminasi merkuri dalam tubuh mereka. Polemik tentang Penyakit akibat limbah NMR ini berkembang menjadi tajam, karena pihak Pemerintah dan Dinas Kesehatan terang-terangan membela PT. NMR dengan mengatakan tidak ada pencemaran.

Jangan jadikan kami musuh, jangan jadikan kami kelinci percobaan. Seperti batu kami adalah penonton atas perubahan yang tidak kami kehendaki.”

          Kemudian pihak pemerintah didalamnya Menteri Negara Lingkungan Hidup menyelesaikan permasalahan ini memalui jalur non – litigasi  terhadap PT. NMR dengan meminta ganti kerugian sebesar  124 juta dolar AS sebagai ganti rugi akibat turunnya mutu lingkungan dan kehidupan warga Buyat yang menjadi korban akibat kegiatan tambang newmont. Pihak  PT. NMR hanya sanggup membayar 30 juta dolar AS, dan penyelesaian melalui jalur non litigasi tersebut pun dianggap sebagai jalan keluar yang tepat. Namun pada tahun 2005 kasus ini masuk ke jalur pidana, dimana surat pelimpahan perkara dari Kejaksaan Negeri Tondano atas perkara No. Reg. B1436R112. TP207/2005 yang diterima oleh Panitera Pengadilan Negeri Manado pada tanggal 11 Juli 2005 dan hal ini telah sesuai berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. KMA033/SK04/2005 yang menyatakan bahwa kewenangan mengadili dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Manado.

          Selanjutnya persidangan kasus ini dimulai pada tanggal 5 Agustus 2005 dengan agenda pembacaan Surat Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dan berakhir pada tanggal 24 April 2007 dengan agenda pembacaan Putusan oleh Majelis Hakim. Kasus ini menarik perhatian publik karena merupakan kasus dengan masa sidang terlama untuk kasus pencemaran lingkungan di Indonesia serta menghadirkan sekitar 61 orang saksi serta ahli, dengan perincian 34 saksi/ahli dihadirkan JPU dan 27 saksi/ahli dihadirkan oleh terdakwa. Selain saksi dihadirkan juga alat bukti berupa surat, ada 42 alat bukti surat dari JPU dan 107 alat bukti surat yang dihadirkan oleh kedua terdakwa. Dalam UU No. 23 Tahun 1997 dikenal dengan adanya pembuktian terbalik dimana terdakwalah yang dikenai beban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah sebagaimana yang disangkakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Walaupun demikian, di Indonesia pembuktian terbalik itu tidak murni sebagaimana terlihat dalam kasus ini, dimana Jaksa Penuntut Umum juga memberikan pembuktian dengan menghadirkan saksi ahli dan beberapa alat bukti surat berupa hasil penelitian yang dilakukan. Kemudian dalam Tuntutannya Jaksa Penuntut Umum menuntut PT. NMR telah melanggar Pasal 41 Ayat 1 Junto Pasal 45, Pasal 46 Ayat 1, dan Pasal 47 UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam hukum pidana yang dianut oleh Indonesia, bukan hanya orang yang bisa didakwa tetapi juga badan, sehingga ini juga merupakan kasus kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan. Sementara pada Richard Bruce Ness, selaku Presiden Direktur yang bertanggung jawab terhadap setiap langkah yang dilakukan oleh PT. NMR, di tuntut dengan Pasal 41 Ayat 1 dan Pasal 42 Ayat 2 UU No. 23 Tahun 1997.

            Namum pada tanggal 24 April 2007 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado memvonis bebas murni Terdakwa I PT. Newmont Minahasa Raya dan Terdakwa II Richard B. Ness dari tuntutan pencemaran lingkungan. Dalam Amar Putusannya Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa I PT Newmont Minahasa Raya dan Terdakwa II, Richard Bruce Ness, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dawaan primair, dakwaan subsidair, dakwaan lebih subsidair, dakwaan lebih subsidair lagi, dan tuntutan jaksa penuntut umum, menyatakan membebaskan terdakwa I PT. Newmont Minahasa Raya dan Terdakwa II Richard Bruce Ness dari seluruh dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum, menyatakan memulihkan hak Terdakwa I PT. Newmont Minahasa Raya dan terdakwa II Richard Bruce Ness dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta

Martabatnya, dan membebankan biaya perkara kepada negara.

Tinjauan kasus PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) dari instrumen hukum lingkungan.

1. Instrumen Hukum Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara memandang bahwa penegakan hukum lingkungan berawal dari perijinan sebagai instrumen. Tolak ukur dari suatu perijinan adalah  pendirian atau penyelenggaraan kegiatan yang diperkirakan akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan harus disertai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Dalam kasus ini permintaan ijin dilakukan secara simultan dalam artian permintaan ijin setelah dilakukannya persiapan pengoperasian PT. NMR  sehingga informasi ijin tersebut tidak diketahui berdampak positif atau negatif terhadap lingkungan. Disini letak kelemahan instrumen Hukum Administrasi Negara yang memberikan ijin secara represif bukan secara preventif atau bersifat bukan hukuman melainkan suatu pengendalian.

2. Instrument Hukum Pidana

Instrumen Hukum Lingkungan Pidana  memandang telah terjadi tindak pidana pencemaran lingkungan apabila telah terjadi Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan Pasal 1 ayat 12 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun dalam bab VII Undang-undang ini diatur mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup jadi berlaku asas subsidiaritas yang berarti penyelesaian hukum pidana dilakukan hanya apabila sanksi-sanksi lain tidak memadai untuk menangani masalah lingkunan hidup, namun dalam perkara ini belum cukup untuk masuk ke penyelesaian pidana sebagai upaya terakhir dari asas subsidiaritas.

3. Instrumen Hukum Perdata

Pada prinsipnya penegakan melalui jalur litigasi yaitu melalui jalur hukum khususnya instrumen hukum perdata telah mengakomodir dalam penyelesaian masalah ini dengan membayar ganti kerugian dan pemulihan lingkungan, akan tetapi pemerintah lebih cenderung menyelesaikan permasalahan ini melalui jalur non litigasi.

Berita duka cita

SEMARANG, KOMPAS.com – Civitas akademika Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, kehilangan salah seorang guru besar Fakultas Hukum. Hari Kamis (15/3/2012) ini, pakar Ilmu Hukum Pidana Prof Dr Paulus Hadisuprapto SH MH berpulang, setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Elisabeth Semarang.

 

Informasi dari UPT Humas Undip Semarang, almarhum meninggalkan dua orang anak yaitu laki-laki dan anak perempuan.

Paulus semasa hidupnya dikenal sebagai pakar hukum pidana, yang memiliki keahlian khusus mengenai kriminologi, hukum pidana anak, penelitian hukum, dan viktimologi.

 

Almarhum pernah menjabat Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Undip. Terakhir menjabat sebagai Ketua Program Magister Ilmu Hukum Undip Semarang.

 

Kamis malam ini jenazah almarhum di semayamkan di rumah duka, Jalan Dewi Sartika IV/77, Kompleks Undip Semarang. Rencananya sebelum dimakamkan di Pemakaman Undip Tembalang, jenasah almarhum akan disemayamkan di Auditorium Undip Imam Badjo, Jumat besok.